Antropologi Visual Sarah Pink: Memandang Kondisi Parkiran Kampus ISI Padang Panjang Pasca-alih Lokasi, Apakah Lebih Baik?

Berita, Blog129 Dilihat
Teks Foto: Kondisi Terkini Parkiran Kampus di Pekarangan Prodi Antropologi Budaya Setelah Adanya Relokasi. Sumber: Fira Permata Putri (21/03/25).

Padang Panjang (Sumbar), 21/03/2025 | Kuantan Xpress.id – Seiring dengan alih-lokasi beberapa area kampus, muncul pertanyaan, apakah kondisi parkiran kampus kini menjadi lebih baik ?. Pasca relokasi tersebut, sejumlah mahasiswa dan dosen mengeluhkan sulitnya mencari tempat parkir pada jam-jam sibuk. Beberapa area yang dahulunya mudah diakses kini digantikan oleh ruang terbuka atau fasilitas yang lain, sementara lokasi parkir baru dinilai kurang strategis dan tidak memadai menampung volume kendaraan harian. Fenomena ini menimbulkan diskusi hangat tentang efektifitas kebijakan relokasi parkir serta urgensi jangka panjang untuk mengatasi permasalahan keterbatasan lahan parkir kampus.

Berdasarkan dokumen pengumuman yang telah diralat dengan Nomor: 0332/IT7/RT.00.01/2025, dijelaskan bahwa relokasi ini merupakan bagian dari uji coba penataan parkir yang dimulai sejak 13 Januari 2025. Beberapa ketentuan yang dijelaskan antara lain adalah pemetaan titik parkir yang spesifik untuk masing-masing jenis kendaraan dan kategori pengguna (seperti wakil rektor, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan tamu), di berbagai wilayah kampus.

Selain itu, seluruh elemen kampus dihimbau untuk mengurangi mobilitas kendaraan dengan berjalan kaki di lingkungan kampus, demi mendukung kenyamanan dan ketertiban bersama.
Lokasi parkiran yang sebelumnya tidak beraturan, bisa dikatakan berpencar antara letak parkiran yang biasa digunakan oleh mahasiswa satu prodi dengan prodi lainnya dan juga berbeda dengan parkiran yang biasa digunakan oleh dosen.

Akan tetapi untuk lokasi parkiran yang sekarang menimbulkan reaksi dari mahasiswa pengguna lokasi parkiran yang mengatakan pengalaman mereka sebagai pengguna yang sebe narnya untuk pemindahan lokasinya sudah bagus tapi kurang efektif juga, hanya di 2 tempat yaitu di halaman prodi Antropologi dan juga di area parkiran dekat gerbang belakang kampus.

Dapat dilihat dari cara parkir yang masih juga tidak tertata, permasalahan pertama yang mengambil atensi yaitu tidak adanya rambu yang menunjukan lokasi parkiran yang baru, sehingga mengakibatkan sebagian yang belum mengetahui lokasi parkiran yang baru menjadi kesulitan untuk mencari lokasi parkir. Kedua, mahasiswa harus berjalan cukup jauh menuju ruangan kelas karena lokasi parkiran yang cukup jauh setelah penentuan titik lokasi parkiran.

Dibalik dari kata pemindahan lokasi yang kurang efektif, lokasi parkir yang sekarang cukup memungkinkan mendapat keamanan karena lokasi yang terpantau CCTV jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Rini Sawitri salah satu mahasiswi pengguna lokasi parkiran kampus mengatakan:

“saya mungkin merasa aman dengan lokasi parkir yang sekarang, namun tidak efektif karena kendaraan yang tidak tertata rapi membuat kesulitan saat ingin masuk atau keluar dari area parkiran dan terlihat seperti berantakan. Kedua, menurut saya parkiran rata-rata tidak memiliki atap pelindung membuat motor menjadi kepanasan saat matahari terik dan ketika hujan, kita menjadi susah untuk menuju kendaraan dan mengambil jas hujan yang berada di motor”.

Demi kenyamanan yang diinginkan dalam pemindahan lokasi parkiran ini yang harus dipikirkan lagi adalah penataan dari kendaraan yang parkir di area tersebut, melengkapi fasilitas parkiran dengan minimal memasang kanopi untuk melindungi kendaraan dan kenyamanan pengguna.

Akan tetapi, kenyamanan ini sepertinya hanyalah sebuah impian yang entah kapan terealisasikan karena dari uji coba yang dilakukan, masih banyak ditemukan kelemahan baik dari sisi aksesibilitas maupun kelayakan fasilitas yang tersedia. Tetapi, untuk membahas hal ini bisa menggunakan pendekatan dari segi akademis.

Dari sisi akademis, bisa menggunakan pendekatan konsep Antropologi Visual dari Sarah Pink, Pemikiran Sarah Pink, seorang tokoh terkemuka dalam bidang antropologi visual dan sensorik, sangat relevan dalam menganalisis fenomena relokasi parkiran di kampus ISI Padangpanjang. Dalam karyanya, Pink menekankan pentingnya pengalaman inderawi (sensorial experience) dan pendekatan partisipatoris dalam memahami bagaimana manusia berinteraksi dengan ruang dan lingkungan mereka.

Ia menolak gagasan bahwa visual adalah satu-satunya cara memahami dunia, dan justru memperluas antropologi visual menjadi antropologi multimodal yakni cara memahami dunia melalui seluruh pengalaman tubuh, termasuk gerakan, suara, sentuhan, dan suasana emosional.

Konteks relokasi parkiran, pendekatan Sarah Pink menyoroti bahwa perubahan ruang tidak dapat dipahami hanya dari aspek visual atau desain semata, tetapi juga dari bagaimana pengguna mengalami ruang tersebut secara keseluruhan. Misalnya, keluhan mahasiswa tentang jauhnya lokasi parkir dari kelas, tidak adanya peneduh, hingga rasa tidak nyaman saat harus berjalan jauh dalam panas atau hujan, menunjukkan bahwa pengalaman ruang sangat dipengaruhi oleh elemen-elemen sensorik. Ini mencerminkan apa yang disebut Pink sebagai embodied experience—pengalaman yang dirasakan secara menyeluruh oleh tubuh yang bergerak di dalam ruang.

Sarah Pink juga mengembangkan konsep emplaced visuality, yang berarti bahwa cara kita melihat dan memahami ruang tidak pernah netral, tetapi selalu terjadi dalam konteks sosial dan spasial tertentu. Jadi ketika mahasiswa mengatakan bahwa lokasi parkir baru “tidak efektif” meskipun secara visual lebih tertata dan dipantau CCTV, mereka sebenarnya sedang mengkritisi bahwa pengalaman mereka sebagai pengguna tidak cukup diperhitungkan dalam proses relokasi.

Di sini kita melihat ketimpangan antara perencanaan ruang yang “dilihat dari atas” (top-down) dan realitas “yang dirasakan dari bawah” (bottom-up). Pink mendorong kita untuk memperhatikan narasi dan pengalaman pengguna secara langsung, bukan hanya data teknis atau estetika ruang. Selain itu, Sarah Pink menekankan pentingnya metode partisipatif dalam perancangan ruang. Dalam bukunya Doing Visual Ethnography, ia menyarankan agar peneliti atau perancang ruang melibatkan komunitas pengguna secara aktif dalam menghasilkan pemahaman dan solusi.

Hal ini bisa diterapkan dalam kasus ISI Padangpanjang, di mana pihak kampus semestinya melibatkan mahasiswa dan dosen sejak awal proses relokasi, baik melalui wawancara, pemetaan partisipatif, maupun observasi visual yang merekam rutinitas harian pengguna. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan akan lebih responsif terhadap kebutuhan nyata, bukan hanya berlandaskan pada asumsi ideal tentang ketertiban atau keamanan.

Pada akhirnya, dengan memakai lensa pemikiran Sarah Pink, kita memahami bahwa kebijakan relokasi parkir bukan hanya soal pengaturan ruang, tapi juga tentang bagaimana ruang itu dihayati, dirasakan, dan dipraktikkan oleh penggunanya. Antropologi visual, dalam pandangan Pink, menjadi alat penting untuk merekam dan memahami kompleksitas pengalaman manusia dalam lingkungan yang terus berubah. Maka, evaluasi terhadap kebijakan parkir ini perlu memperhitungkan dimensi sensorik, emosional, dan partisipatif dari civitas akademika, bukan hanya sekadar efisiensi tata ruang secara visual.

Oleh karena itu, sebelum kebijakan relokasi parkir ini diberlakukan secara permanen, perlu adanya evaluasi menyeluruh dan pelibatan suara mahasiswa serta dosen sebagai pengguna utama. Harapannya, solusi yang diambil kedepan tidak hanya mempertimbangkan keamanan, tetapi juga kenyamanan dan efisiensi penggunaan lahan secara berkelanjutan.

Penulis: Basyarul Aziz, Fira Permata Putri

Teks Foto: Kondisi Terkini Parkiran Kampus di Pekarangan Prodi Antropologi Budaya Setelah Adanya Relokasi. Sumber: Fira Permata Putri (21/03/25).