
Oleh: Amirudin Soamole – Kaperwil Provinsi Maluku, KuantanXpress.id
Namlea, ibukota Kabupaten Buru, yang biasanya ramai di pagi hari kini berubah muram. Jalan raya dipenuhi antrean kendaraan panjang mengular di depan SPBU, menunggu bahan bakar yang tak kunjung datang. Di pasar, wajah-wajah letih tergambar jelas. Seorang ibu penjual gorengan bahkan terpaksa menghentikan dagangannya karena harga minyak tanah melonjak menjadi Rp10.000 per liter—tiga kali lipat dari harga resmi.
BBM: Denyut Kehidupan Orang Buru
Bagi masyarakat Pulau Buru, bahan bakar bukan sekadar cairan untuk mesin, melainkan denyut kehidupan. Perahu nelayan butuh solar, truk pengangkut hasil panen menunggu pertalite, dan dapur rumah tangga sederhana bergantung pada minyak tanah. Namun, harga di lapangan jauh dari aturan resmi. Pertalite melambung hingga Rp13.000–Rp14.000 per liter, solar Rp9.000–Rp10.000, dan minyak tanah Rp10.000.
Bisik-bisik warga mengisahkan hal yang sama, mobil tangki yang seharusnya masuk SPBU justru berbelok ke gudang-gudang gelap. SPBU pun dituding bermain, menjual BBM tengah malam kepada mafia. Di Gunung Botak, minyak tanah disedot untuk tambang emas ilegal, pertalite disimpan pengantri lalu dijual kembali, sementara solar dialihkan ke perusahaan konstruksi. Semua orang tahu, namun tak ada tindakan.
“Kami ini bukan tidak tahu. Penimbunan terjadi di depan mata, tapi tetap dibiarkan. Hidup makin susah, air mata sudah habis,” tutur seorang sopir oto di Simpang Lima Namlea dengan suara getir.
Dampak yang Merata
Krisis BBM ini menjepit semua lapisan. ASN terhambat bekerja karena kendaraan tak bisa jalan. Petani menjerit karena biaya angkut hasil panen membengkak. Nelayan kehilangan hari-hari melaut. Buruh dan pedagang menanggung beban harga barang pokok yang melambung. “Beras di sini sudah hampir sama dengan Papua,” keluh seorang warga.
Di tengah antrean panjang, kisah getir dua sahabat sekampung, Yako dan Keda, menambah pilu. Mereka mencoba mengubah nasib dengan mengkredit motor untuk menjadi tukang ojek. Namun, penghasilan habis hanya untuk membeli bensin. Cicilan menunggak, motor mereka akhirnya ditarik diler. Yako kehilangan kendaraan sekaligus harapan. Keda bahkan harus menyuruh istri dan anaknya kembali ke rumah orang tua sang istri, karena tak lagi mampu menafkahi.
Antrean Panjang, Harapan yang Pupus
Di depan SPBU Namlea, antrean kendaraan menjalar hingga ratusan meter. Sopir truk berpeluh, tukang ojek terkulai di jok motor, sebagian tertidur beralas koran di pinggir jalan. Panas matahari membakar ubun-ubun, namun tak ada pilihan selain menunggu.
“Sudah empat jam kami di sini, belum juga giliran!” teriak seorang pemuda, tapi suaranya tenggelam dalam deru mesin yang dipanasi agar tidak mati sebelum mencapai pompa. Di Perumnas Desa Lala, ibu-ibu membawa jerigen dengan wajah penuh harap. Namun seringkali, sebelum giliran tiba, minyak tanah sudah habis. Penderitaan pun lengkap.
Harga-harga barang melambung. Batu pondasi rumah yang dulu Rp650 ribu per ret kini naik jadi Rp1,2 juta. Beras yang semula Rp10 ribu per kilogram kini menembus Rp14 ribu. “Siapa yang mau disalahkan? Yang jelas, Tuhan tidak bersalah,” ujar seorang warga dengan nada pasrah.
Diam yang Bersuara
Masyarakat Buru terkenal sabar dan penyayang. Mereka tidak turun berteriak di jalanan, melainkan memilih diam. Namun, diam bukan berarti buta, apalagi bodoh. Sejak Gunung Botak mulai ditambang manual pada 2011, rakyat sudah menunggu keadilan. Yang datang hanyalah janji-janji yang tak pernah ditepati.
Sesekali operasi pasar digelar, kamera menyorot pejabat berpidato. Tapi begitu spanduk diturunkan, rakyat tetap mengantri, harga tetap tinggi, mafia tetap berkuasa. Operasi pasar hanyalah formalitas, tak pernah menyentuh inti masalah.
Saatnya Tindakan Nyata
Hari ini, masyarakat tidak lagi butuh pidato atau surat edaran. Mereka menuntut tindakan nyata: berantas penimbunan, awasi SPBU, tindak mafia minyak tanpa pandang bulu, dan hadirkan operasi pasar yang benar-benar menyentuh rakyat. Kondisi darurat ini tak bisa dijawab dengan janji. Bupati Buru dan Gubernur Maluku harus turun tangan langsung.
Pulau Buru kini hidup dalam bayangan kelam, bukan karena takdir, melainkan karena kesengajaan. Pertanyaan rakyat sederhana namun menikam: “Sampai kapan kami harus hidup dalam kegelapan yang sengaja diciptakan?”.
Daripada diam melihat ketimpangan ini, biarlah saya bersuara. Biarlah kisah ini tersampaikan agar menyentuh hati para mafia, penegak hukum, dan pemerintah daerah. Semoga ada yang tergugah, semoga ada tindakan nyata.
Amin.