Mengenal Bukan Nepotisme: Rasionalitas di Balik Rekrutmen Kontrak PDAM

Berita, Blog, Daerah84 Dilihat

Isu rekrutmen tiga tenaga kontrak di PDAM Tirta Mountala belakangan mencuat ke ruang publik, sebagian dibumbui dengan dugaan kedekatan personal antara pegawai baru dan jajaran internal perusahaan. Namun dalam ruang tata kelola publik yang rasional, penting untuk membedakan antara kedekatan sosial yang wajar dan penyimpangan prosedural.

Dalam realitas sosial Aceh Besar, kedekatan bukanlah hal yang langka. Warga saling mengenal karena ikatan kampung, pendidikan, organisasi, bahkan hubungan kekerabatan jauh. Tapi mengenal seseorang tidak lantas membuat rekrutmen menjadi tidak sah, selama prosesnya tetap mempertimbangkan kebutuhan, kualifikasi, dan ruang evaluasi.

Dalam hal ini, status ketiga pegawai yang dimaksud adalah kontrak, bukan pegawai tetap. Mereka masih dalam masa uji kinerja dan bisa saja diberhentikan apabila tidak memenuhi target yang dibutuhkan. Justru di sinilah prinsip kehati-hatian manajemen diterapkan: memberi kesempatan dengan ruang kontrol penuh.

Lebih jauh, mengenal calon pegawai dengan baik justru dapat menjadi nilai tambah. Rekam jejak, etika kerja, dan karakter personal sudah diketahui lebih awal, sehingga proses seleksi menjadi lebih efisien secara waktu, biaya, energi, dan risiko kegagalan. Dalam birokrasi modern, efisiensi ini menjadi salah satu penanda kematangan manajerial.

Kebijakan ini juga berada dalam garis kebijakan yang konsisten dengan arahan Bupati Aceh Besar, Syech Muharram Idris, selaku Kuasa Pemilik Modal (KPM) PDAM Tirta Mountala. Dalam berbagai kesempatan, beliau menyampaikan bahwa:

“Kesempatan di perusahaan daerah harus terbuka untuk siapa pun. Selama memenuhi kualifikasi dan benar-benar dibutuhkan, semua warga berhak mendapatkan ruang untuk bekerja.”

Pernyataan ini menjadi pilar penting bahwa yang dijaga bukan sekadar prosedur administratif, tetapi juga akal sehat dalam kebutuhan organisasi. Terbuka bukan berarti liar, dan mengenal bukan berarti curang.

Kritik dan pengawasan dari masyarakat tentu bagian dari iklim demokrasi yang sehat. Namun saat setiap bentuk hubungan sosial dicurigai sebagai pelanggaran, kita sedang menggeser nilai transparansi menjadi prasangka. Dan bila itu dibiarkan, maka profesionalisme bisa dikalahkan oleh asumsi.

Kini, biarlah waktu dan kinerja yang berbicara. Jika mereka yang direkrut bisa membuktikan kontribusinya, maka publik tentu akan menilai dengan sendirinya. Karena dalam pelayanan publik, yang utama bukan siapa yang masuk, melainkan apa yang dia hasilkan.